1. Tari Tradisional Aceh - Tari Bines
Tari Bines merupakan tarian tradisional Aceh tepatnya berasal
dari kabupaten Gayo Lues. Tarian ini muncul dan berkembang di Aceh
Tengah namun kemudian dibawa ke Aceh Timur.
Tarian tradisional Bines ini diperkenalkan oleh seorang ulama bernama
Syech Saman dalam rangka berdakwah.Tari ini ditarikan oleh para wanita
dengan cara duduk berjajar sambil menyanyikan syair yang berisikan
dakwah atau informasi pembangunan. Para penari melakukan gerakan dengan
perlahan kemudian berangsur-angsur menjadi cepat dan akhirnya berhenti
seketika secara serentak.
Tari ini juga merupakan bagian dari Tari Saman saat penampilannya. Hal yang menarik dari tari Bines adalah beberapa
saat mereka diberi uang oleh pemuda dari desa undangan dengan menaruhnya
diatas kepala perempuan yang menari.
2. Tari Tradisional Aceh - Tari Saman
Tari Saman merupakan warisan dan kekayaan budaya rakyat Aceh yang telah mendapatkan pengakuan dunia melalui UNESCO sebagai Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia. Tari Saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi jumlahnya harus
ganjil. Pendapat lain mengatakan tarian ini ditarikan kurang lebih dari
10 orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba
sambil bernyanyi. Namun, dalam perkembangan di era modern yang
menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak apabila
ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk mengatur
berbagai gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang disebut syekh.
Selain mengatur gerakan para penari, syekh juga bertugas menyanyikan
syair-syair lagu saman, yaitu ganit. Mengenai tari saman ini, Sobat bisa membaca artikel Sejarah Tari Saman dari Aceh.
3. Tari Tradisional Aceh - Didong
Didong sebenarnya adalah sebuah kesenian rakyat Gayo yang merupakan perpaduan unsur tari, vokal, dan sastra.
Awal mulanya Didong diperkenalkan pada zaman Reje Linge XIII. Pada
awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam
melalui media syair.
Dalam perkembangannya, didong tidak hanya ditampilkan pada hari-hari
besar agama Islam, melainkan juga dalam upacara-upacara adat seperti
perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, panen raya, penyambutan tamu dan
sebagainya.
Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan
anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai
30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya adalah penunung.
Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan
mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan
puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga
diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang
berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa.
Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa.
Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong
remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran
ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang Céh.
Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan
tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan
selanjutnya ada juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat
musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif
sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.
4. Tari Tradisional Aceh - Tari Guel
Tari guel merupakan tarian tradisional Aceh tepatnya masyarakat
suku Gayo di Aceh.
Guel berarti membunyikan. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan
tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni
sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri. Guel menjadi tari tradisi
terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap
wujud alam, lingkkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak.
Tari guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu
natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam
Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk,
Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan.
Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari
kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ).
Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan
primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong.
Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh canang, gong,
gegedem, dan memong.
5. Tari Tradisional Aceh - Tari Mesekat
Tarian Mesekat adalah salah satu bentuk tarian tradisional masyarakat
aceh yang mengkombinasikan gerakan tangan serta badan dengan lantunan
syair-syair berisi tuntunan keagamaan dan
kehidupan bermayarakat. syair-syair tersebut dilantunkan oleh para
penari sambil melakukan gerakan tarian. Mesekat biasanya dimainkan oleh
kaum pria yang jumlahnya minimal 18 orang.
Mesekat pertama kali dikembangkan oleh Tengku Mbelin (Tengku Haji Hasan) Lawe Due, kemudian dikembangkan oleh muridnya Tengku Muhammad Nya'kub Pagan yang kini tinggal di Kute Melie.
Mesekat pertama kali dikembangkan oleh Tengku Mbelin (Tengku Haji Hasan) Lawe Due, kemudian dikembangkan oleh muridnya Tengku Muhammad Nya'kub Pagan yang kini tinggal di Kute Melie.
6. Tari Tradisional Aceh - Tari Ula Ula Lembing
Tari Ula - Ula Lembing adalah tari tradisional dari Aceh atau tepatnya
Kabupaten Aceh Tamiang. Tarian ini ditarikan oleh 12 orang atau lebih
berputar-butar ke
sekeliling panggung bagai ular. Tarian ini harus dibawakan dengan
penjiwaan yang lincah dan ceria.
7. Tari Tradisional Aceh - Tari Tarek Pukat Aceh
Tari Tarek Pukat Aceh adalah tari tradisional Aceh yang menggambarkan
kehidupan nelayan di Provinsi Aceh. Sesuai dengan namanya, tari tarek
(tarik) pukat (alat penangkat ikan) menggambarkan aktifitas para nelayan
yang menangkap ikan dilaut. Tari Tarek Pukat Aceh ini berasal dari
Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh.
8. Tari Tradisional Aceh - Tari Seudati Aceh
Tari Seudati berkembang di Aceh pertamakali pada saat Agama Islam masuk
di Aceh. Tarian tradisional Aceh ini diperkenalkan oleh penyebar agama
Islam yang berasal dari Arab Saudi di Aceh, sehingga bahasa atau istilah
yang
dipergunakan dalam penyebaran agama dititik beratkan pada istilah bahasa Arab. Syahadati dan syahadatain menjadi seudati, kemudian saman menjadi
meusaman ( yang artinya delapan ) orang.
dipergunakan dalam penyebaran agama dititik beratkan pada istilah bahasa Arab. Syahadati dan syahadatain menjadi seudati, kemudian saman menjadi
meusaman ( yang artinya delapan ) orang.
Pada zaman kolonial, tari tradisional Seudati Aceh pernah dilarang oleh
pemerintah Belanda, karena tari tradisional Aceh ini termasuk pada
kategori Tribal War Dance atau Tari Perang, yang mana syairnya selalu
membangkitkan semangat pemuda Aceh untuk bangkit dan melawan penjajahan.
Dalam penampilannya tari seudati ini dipimpin oleh seorang Syekh (pimpinan). Syekh ini dibantu oleh wakil yang disebut
Apet Syekh. Tari ini ditarikan oleh delapan orang penari dan dibantu oleh dua orang penyanyi sebagai pengiring tari
(Aneuk Syahi).
Apet Syekh. Tari ini ditarikan oleh delapan orang penari dan dibantu oleh dua orang penyanyi sebagai pengiring tari
(Aneuk Syahi).
9. Tari Tradisional Aceh - Tari Ratoh Duek Aceh
Tarian tradisional Aceh Ratoh Duek adalah sebuah tarian
tradisional yang berasal dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ratoh berasal dari bahasa Arab berarti Rateb/ ratip
yang mengandung makna melakukan puji-pujian dan doa kepada Allah SWT
dan Nabi melalui syair yang di iramakan / di nyanyikan, Duek adalah
duduk. Jadi Ratoh Duek adalah kegiatan kesenian yang mengandung makan
ibadah dan di lakukan secara duduk.
Dalam perkembangan dan penampilannya
tari tradisional aceh Ratoh Duek ini gerakannya hampir mirip dengan tari
saman yang saat ini sangat popular di kalangan masyarakat, generasi muda dan
pencipta senitari di luar aceh.
10. Tari Tradisional Aceh - Tari Rampai Geleng Aceh
Tari Rampai Geleng adalah merupakan tarian tradisional yang berasal dari Aceh. Rampai adalah merupakan alat musik tradisional Aceh
yang kita kenal dengan nama Rebana. Alat musik tradisional rampai ini
sangat beragam yang salah satunya adalah Rampai Geleng. Penamaan Rampai
pada alat musik pukul dari Aceh ini mengambil nama Syeikh Ripai yang
merupakan penemu dan pengembang alat musik tradisional ini di Aceh.
Permainan Rapai Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan
sikap keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan
dalam lingkungan masyarakat.
Terian ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair (lagu-lagu)
yang dinyanyikan, kustum dan gerak dasar dari unsur tarian meuseukat.
Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapai geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan.
Fungsi dari tarian ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapai geleng pertama kali dikembangkan pada tahun 1965 di Pesisir Pantai Selatan.
Jenis tarian ini dimaksudkan untuk laki-laki. Biasanya yang memainkan
tarian ini ada 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang
dibawakan adalah sosialisasi kepada mayarakat tentang bagaimana hidup
bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi.
Tarian Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
1. Saleum (Salam)
2. Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
3. Lani (penutup)
Tarian Rapai Geleng ada 3 babak yaitu:
1. Saleum (Salam)
2. Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama)
3. Lani (penutup)
11. Tari Tradisional Aceh - Tari Ranup Lampuan Aceh
Tari Ranup Lampuan adalah tarian tradisional yang berasal dari Aceh.
Ranup Lampuan berasalah dari bahasa melayu yaitu dari kata Ranup dan
Puan, Ranup artinya sirih sedangkan puan adalah tempat sirih. Di Aceh,
Sirih adalah lambang penghormatan dan persaudaraan terhadap tamu.
Tari tradisional Ranup Lampuan Aceh ditarikan oleh beberapa gadis Aceh untuk menyambut tamu resmi, menggunakan
puan yang berisi sirih untuk disuguhkan kepada tamu tersebut. Tamu yang
disuguhi dengan tari ranup lampuan biasanya memang tamu jauh atau tamu
pemerintahan.
12. Tari Tradisional Aceh - Tari Pho
Tarian Pho merupakan Tarian tradisional Aceh yang berasal dari kata Pho,
peubae, peubae artinya meratoh atau meratap. Pho adalah panggilan atau
sebutan penghormatan dari rakyat hamba kepada Yang Mahakuasa yaitu Po
Teu Allah.
Tarian ini dibawakan oleh para wanita, dahulu biasanya dilakukan pada
kematian orang besar dan raja-raja, yang didasarkan atas permohonan
kepada Yang Mahakuasa, mengeluarkan isi hati yang sedih karena ditimpa
kemalangan atau meratap melahirkan kesedihan-kesedihan yang diiringi
ratap tangis. Sejak berkembangnya agama Islam,
tarian ini tidak lagi ditonjolkan pada waktu kematian, dan telah
menjadi kesenian rakyat yang sering ditampilkan pada upacara-upacara
adat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar